sumber: http://www.kutaikartanegara.com/senibudaya/tari.html
1. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam padi. Tongkat menggambarkan kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian didalamnya menggambarkan benih padi dan wadahnya.
Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam penyambutan tamu dan acara-acara lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak Tunjung namun juga dikenal oleh suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn, Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
Tari Perang
Tari Perang
2. Tari Kancet Papatai / Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah, gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.
Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
Tari Kancet Ledo
3. Tari Kancet Ledo / Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut ditiup oleh angin.
Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang, burung yang dimuliakan oleh suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulu-bulu burung Enggang dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon.
5.Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
Tari Hudoq
6. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
7. Tari Hudoq Kita'
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara Tari Hudoq Kita' dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita' menggunakan baju lengan panjang dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua jenis topeng dalam tari Hudoq Kita', yakni yang terbuat dari kayu dan yang berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
8. Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak wabah penyakit dan mengobati orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).
Belian
Tari Belian Bawo
9. Tari Belian Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku Dayak Benuaq.
10. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon tersebut.
11. Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
12. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak Kenyah dengan jumlah tak pasti, boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak Kenyah.
13. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal kematian dari suku Dayak Tunjung dan Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga menimbulkan irama tertentu.
14. Tari Baraga' Bagantar
Awalnya Baraga' Bagantar adalah upacara belian untuk merawat bayi dengan memohon bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
TRANSLATER
0 beberapa tari dayak dari kalimantan timur
0 tiga peluang perkembangan kesenian di kalimantan barat
Menyoroti perkembangan kesenian tradisional di Kalimantan Barat, terasa belum mencapai hasil yang memadai. Artinya belum ada pemaksimalan fungsi dari pengembangan dan tidak adanya kejelasan tujuan. Rekonstruksi perkembangan kesenian tradisi belum memanfaatkan peluang beberapa segi mendasar, seperti pengembangan pelaku seni (seniman), pengembangan materi (kesenian yang diangkat), dan faktor pendukung (budaya yang berkaitan). tiga hal pokok ini perlu diperhatikan karena mempunyai hubungan yang bergayut dan saling melengkapi satu sama lainnya.
Pelaku kesenian identik dengan sebuah karya seni yang dihasilkan. Segenap curahan pemikiran (estetik intelektualistik), tenaga dan perlakukan terhadap seni (estetik behavior dalam kesenian), dan penjiwaan perlu mendapat perhatian, setidaknya memperhatikan kembali nilai-nilai budaya yang terkait. Seorang seniman tidak hanya menciptakan sesuatu kesenian yang begitu jadi dianggap sebagai materi yang siap saji. Perlu adanya peninjauan ulang dari segi artistik, audiens, dan konektivitas budaya dimana kesenian itu tumbuh dan berkembang, sehingga karya seni dapat membawa pesan estetik dan nilai budaya sesuai dengan latar belakang tradisi dan perkembangan zaman.
Aspek artistik merupakan keseluruhan dari elemen karya seni, baik itu nilai-nilai yang terkandung dalam karya berupa nilai budaya, dinamika, harmoni, ritme, tekstur, penjiwaan, pembawaan, dan penampilan secara keseluruhan, serta kesatuan dari keseluruhan elemen tersebut (unity). Disamping itu memperhatikan nilai-nilai yang berada diluar karya, seperti dekorasi panggung, pencahayaan (lighting), tata letak instrumentasi pementasan (peralatan dan aksesoris), tata rias dan busana. Beberapa hal ini perlu penggalian yang sesuai dengan materi yang akan ditampilkan dan hubungannya dengan budaya seni itu sendiri, agar tidak menghilangkan jejak tradisi yang diusung dalam sebuah karya seni. Hal-hal inilah yang perlu pendalaman dari beberapa pelaku kesenian untuk menumbuhkan sadar budaya dan tidak mengaburkan kesenian itu sendiri. mengangkat kesenian yang tanpa mengacu atau mempelajari budaya budaya ditakutkan akan mengaburkan budaya itu sendiri karena kesesatan persepsi tentang seni itu sendiri.
Pengembangan pelaku kesenian harus mengacu pada menumbuh kesadaran nilai dan kecintaan terhadap budaya, sehingga nantinya dapat menuangkan nilai budaya dan pesan kehidupan masyarakat pemilik kesenian tersebut. hal ini karena dalam kesenian tergambar budaya dimana kesenian itu hidup dan berkembang. Langkah-langkahnya dengan pemberian materi pelatihan, diskusi, seminar umum tentang seni, dan lain sebagainya. dari usaha ini harus dilanjutkan pada kerja nyata berupa pengembangan materi kesenian.
Pengembangan materi adalah usaha mengembangkan materi seni dalam lingkup pengembangan budaya yang bersangkutan. Pemberian pemahaman pengembangan budaya adalah mencoba untuk menuangkan budaya seni yang ada dengan melakukan modifikasi dengan tidak menghilangkan nunasa tradisi yang ada di dalamnya. Hal ini perlu diperhatikan untuk antisipasi pengembangan yang merusak dan mengaburkan nilai budaya itu sendiri. Saya yakin banyak sekali peluang perkembangan dengan mengusung motif tradisi dalam kesenian yang kita miliki, baik itu dalam musik, tari dan kesenian lainnya.
Pengembangan kesenian juga harus dapat memberikan pencerahan dalam kesenian itu sendiri dan dapat bermanfaat bagi kehidupan dan kelangsungan budaya berkaitan. Artinya pengembangan dapat sejalan dengan cita-cita luhur masyarakatnya dan memberikan kontribusi bagi kelangsungan adat istiadat dalam kehidupan bermasyarkat yang berkesinambungan. Melalui ini perkembangan seni dapat melihat tujuan yang jelas dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dan budaya, sesuai dengan faktor pendukung budaya yang dimiliki.
Pengembangan faktor pendukung dalam seni dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: 1. Budaya seni dimana seni itu hidup dan berkembang; 2. Kesatuan artistik seperti yang disebutkan sebelumnya. Mengusung budaya seni harus melihat kemana arah yang sesuai dengan pengembangan. Perlunya perlakuan pembenahan dan perbaikan ide pengembangan dapat mempersempit kebuntuan dalam proses pengembangan yang selama ini dilakukan. Artinya seni dan budaya saling berkaitan dan dapat saling mendukung untuk saling mengisi dan memperkaya khasanah kekayaan daerah. Seni itu bukan hanya diangkat dan dipertontonkan, namun juga harus dipelajari dan didokumentasikan secara tertulis dan audio visual. inilah yang menjadi warisan kekayaan seni dari budaya yang kita miliki.
Tulisan ini bukan sebuah kritik namun hanya sebuah pengingat bagi kita semua yang merasa benar dalam mengambangkan kesenian namun melupan budaya yang terkandung dalam kesenian itu sendiri. Tulisan ini juga bukan bertujuan untuk menggurui, namun lebih kepada memberikan masukan untuk menyikapi kebuntuan perkembangan kesenian di Kalimantan Barat. Lebih kurangnya adalah tugas kita bersama untuk memebenahi perkembanga kesenian itu sendiri, sehingga kesenian itu dapat berkembangan dengan membawa ciri khas budayanya masing-masing. disamping itu kesenian yang berkembanga dapat memeberikan manfaat bagi kelangsungan kehidupan dan budaya yang kita miliki. Sepatah kata yang saya tinggalkan "perkembangan kesenian bukan membuat kesenian baru, namun dapat mengembangan nilai tradisi dalam suasana baru".
0 simbol dalam musik dayak kanayatn
Manusia mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan dan dapat dikatakan sebagai makhluk yang berbudaya. Kebudayaan itu terdiri atas gagasan-gagasan, simbol-simbol dan nilai-nilai luhur sebagai hasil dari kehidupan manusia. Begitu eratnya hubungan manusia dengan simbol-simbol, ia dapat dikatakan sebagai makhluk yang bersimbol. Manusia berpikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan simbolis. Ungkapan-ungkapan simbolis inilah yang menggambarkan kehidupan, tingkah laku, perjalanan hidup, dan nilai-nilai budaya yang dimiliki suatu masyarakat.
Manusia tidak pernah menghadapi lingkungan fisik secara langsung. Mereka selalu mendekati alam (dan isinya) melalui budaya, melalui berbagai sistem simbol, makna dan nilai.1. Seperti dikatakan Ernst Cassirer bahwa:
“Manusia dapat disebut sebagai hewan yang bersimbol (Animal Simbolicum). Manusia tidak pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara langsung kecuali dengan berbagai simbol”.2.
Masyarakat Dayak mengenal alam nyata dan hubungan dengan alam gaib melalui simbol-simbol. Simbol tersebut merupakan ide-ide yang melambangkan maksud tertentu.3. Dalam kehidupan masyarakat Dayak, simbol-simbol yang dikomunikasikan merupakan konsep hubungan relegius antara manusi dengan Tuhan, manusia dengan alam gaib, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam nyata (lingkungannya) yang kemudian ditranspormasikan ke dalam musik yang mereka miliki. Apa yang digambarkan dapat dimengerti lewat musik tersebut, sehingga musik itu dapat dipastikan mengandung simbol-simbol sebagai pengejawantahan persepsi masyarakat tentang kehidupannya.
Musik dapat dikatakan sebagai sebuah bahasa simbolik. Musik merupakan sebuah bentuk yang bermakna (significant form). Makna tersebut adalah sesuatu yang diungkapkan melalui simbol. Musik merupakan objek rasa dengan melalui kecemerlangan struktur dinamikanya dapat mengungkapkan bentuk-bentuk pengalaman penting yang tidak dapat diungkapkan oleh bahasa.4. Dengan demikian tidak dapat diragukan lagi, bahwa musik bersifat simbolik.5. Melalui musik pula masyarakat Dayak memberikan pemaknaan tentang kebudayaannya yang terangkum dalam ide musikal mengenai alam pikiran, alam budi, tata susila, termasuk pula karya manusia.
Kebanyakan nilai kehidupan masyarakat Dayak dilambangkan dalam bentuk simbol, sehingga apa yang diungkapkan melalui simbol dapat ditangkap oleh manusia lainnya, kemudian dipelajari, dihayati maknanya, dan diterapkan dalam kehidupan. Contohnya seperti simbol-simbol pada Pantak, tari, upacara, dan musik Dayak. Pantak dianggap sebagai lambang penghormatan kepada nenek moyong yang telah berjasa dalam kehidupan. Musik dianggap sebagai bahasa komunikasi simbol, sedangkan upacara dianggap sebagai wadah sakral yang dapat menghubungkan dunia gaib dan hubungan manusia dengan Jubata. Oleh karena itu musik dapat dianggap sebagai refleksi kehidupan sosial yang dijalani masyarakat Dayak. Ia juga dianggap sebagai transpormasi nilai-nilai kehidupan yang tersimpul dalam adat dan tradisi, lambang penghormatan kepada pada leluhur, dan hubungan manusia dengan Sang Maha Pencipta.
Simbol-simbol dalam budaya masyarakat Dayak secara menyeluruh dapat dilihat dalam setiap upacara ritual. Simbol itu dapat dibagi menjadi dua bagian: Simbol Material, yaitu simbol-simbol yang melekat pada medium benda yang sifatnya yang dapat dilihat dan diraba (peralatan atau alat peraga upacara), seperti sesaji dan perangkat upacara lainnya. Simbol nonmaterial, yaitu simbol-simbol yang melekat pada medium yang tidak dapat dilihat dan diraba, seperti musik.
Antara sesaji dan musik merupakan sesuatu yang harus ada dalam setiap upacara ritual. Kedua medium ini tidak dapat dipisahkan, karena simbol material mengandung makna penghormatan dan pengagungan, sedangkan simbol nonmaterial mengandung makna komunikasi terhadap roh halus, roh para leluhur, dan Jubata. Seperti kata pepatah Nana’ musik Jubata bera, nana pajaji antu bera, artinya tidak ada musik (dalam upacara) Jubata marah, tidak ada sesaji (dalam upacara) makhluk halus (hantu) marah.6. Hal ini berhubungan dengan pernyataan Noerid Haloei Radam yang mengatakan bahwa:
“Upacara dan perlengkapan atau peralatan adalah dua unsur religi yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya amat berkaitan erat dalam pengertian yang satu memerlukan yang lain. Dalam religi masyarakat bersahaja, suatu upacara tidak atau belum boleh dilaksanakan bila peralatan yang harus menyertainya tidak atau belum lengkap.”.7.
Sifat-sifat religi masyarakat yang dapat digolongkan bersahaja sering dikatakan sintetik dan relativistik. Hal ini dapat dijelaskan dari pemahaman dualisme dan pluralisme yang merupakan keutuhan, kebulatan, dan totalitas tunggal.8. Sistem kepercayaan seperti ini masih terdapat pada mitos yang dianggap sebagai kitab suci orang Dayak, karena masyarakat percaya bahwa mitos sebagai sumber lahirnya adat dan norma sosial. Mitos dikatakan sebagai simbol yang mengandung penggambaran kehidupan nenek moyang yang diturunkan secara turun-temurun dari generasi kegenerasi, oleh karena itu musik Dayak mempunyai kebulatan makna menyeluruh dari adat istiadat dan hubungan religius dalam kehidupan yang dijalani masyarakatnya. Keterkaitan kedua simbol material dan non material ini tidak dapat dipisahkan, karena keduanya merupakan kebulatan yang saling melengkapi dan memberikan arti antara satu dengan lainnya.
Mengamati musik Dayak yang digunakan dalam upacara dan beberapa ritual, dapat dikemukakan beberapa simbol. Simbol ini dapat terkait dengan penamaan beberapa jenis irama musik yang dapat dilihat pada irama musik Dayak Kanayatn, seperti Bagu, Bawakng, Jubata, dan lain-lain. Adapun simbol-simbol tersebut adalah sebagai berikut. (sebagai contoh diambil irama musik Dayak Kanayatn, Kalimantan Barat)
1. Simbol Penyucian
Pembersihan diri biasanya dilakukan sebelum upacara maupun saat upacara berjalan. Lambang penyucian ini terdapat dalam irama musik Bagu. Musik ini menggambarkan penyucian manusia dengan air yang mengalir di sungai Bagu sebelum pamaliatn melakukan perjalanan religius ke gunung Bawakng. Sesuatu yang disucikan adalah badan kasar dan badan halus manusia, sesaji, tempat upacara, dan perlengkapan upacara. Kelima media yang disucikan itu dianggap sebagai wilayah sakral pada alam manusia dan merupakan gerbang untuk berhubungan dengan dunia gaib.
Pandangan masyarakat Dayak menyatakan bahwa sesuatu yang bukan dunia manusia belum merupakan sebuah dunia. Sesuatu wilayah dapat dijadikan milik manusia hanya dengan membuatnya baru kembali, yaitu dengan mentahbiskan atau mensucikannya.9. Melalui irama musik Bagu sebagai lambang kesucian, mereka mentahbiskan wilayah sakral tersebut.
Secara harafiah air dianggap sebagai lambang kehidupan manusia yang dapat mensucikan. Sama halnya dengan air yang digunakan untuk bersuci sebelum sholat oleh umat Islam, ia merupakan simbol penyucian badan halus dan badan kasar sebelum menghadap kepada Tuhan. Air juga merupakan salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling mendasar, baik untuk dikonsumsi maupun untuk kepentingan lainnya. Oleh karena itu irama musik Bagu diibaratkan sebagai air sungai yang dapat membersihkan dan sebagai sumber kehidupan baru bagi orang yang diobati. Jika di India ada sungai Gangga, maka di masyarakat Dayak Kanayatn ada sungai Bagu.
2. Simbol Perjalanan Religius
Perjalanan religius yang dimaksud adalah perjalanan menuju gunung Bawakng yang merupakan suatu tempat asal mula nenek moyang suku Dayak Kanayatn. Tempat ini dianggap keramat, karena dipercaya sebagai tempat Ne’ Baruakng Kulub turun ke bumi dan menurunkan padi kepada manusia. Selanjutnya beliau mengajarkan Adat Nang Lima (adat lima) kepada keturunannya. Daerah ini dipercaya pula sebagai tempat asal mula Baliatn Tujuh.10. Simbol ini terdapat dalam irama musik Bawakng dan bila irama musik tersebut mau ditabuh Pamaliatn (dukun) mengucap Ka’ Bawakng yang artinya menuju gunung Bawakng.11.
3. Simbol Hubungan Religius (Komunikasi)
Religi dalam masyarakat Dayak mencakup pula tentang simbol-simbol yang menyatakan hubungan mereka dengan Tuhan. Simbol-simbol itu berfungsi sebagai rujukan untuk menjelaskan dan menata hubungan dengan dunia gaib yang sangat abstrak untuk dimengerti, tentang ilah-ilah atau segala sesuatu yang dipandang tidak dapat dilukiskan. Oleh karena itu mereka mengungkapkannya melalui benda-benda upacara, seperti sesaji, perlengkapan upacara, dan musik yang dianggap sakral dan dapat menghubungkan para pemakainya dengan kekuatan gaib yang samar tersebut. Melalui simbol-simbol itu manusia (orang Dayak) dapat memanfaatkannya untuk mencapai tujuan hidup atau melindungi diri dari kekuatan gaib tertentu yang dapat berpengaruh buruk dalam hidupnya. Seperti dikatakan J. Van Baal bahwa:
“Religi adalah suatu sistem simbol yang dengan sasaran tersebut manusia berkomunikasi dengan jagad rayanya. Simbol itu adalah sesuatu yang serupa dengan model-model yang menjembatani berbagai kebutuhan yang saling bertentangan untuk pernyataan dan penguasaan diri. Bila tujuan (yakni objek yang dikomunikasikan itu) menyerupai sesuatu yang tidak dapat dilukiskan dengan kata-kata lisan, maka simbol-simbol itu digunakan sebagai perisai yang melindungi”.12.
Umumnya benda-benda yang dipakai dalam upacara hanya memiliki makna khusus ketika upacara itu berlangsung. Di luar peristiwa itu ia akan menjadi sesuatu hal yang biasa dan kembali kepada maknanya yang intrinsik. Contohnya seperti ayam hitam dalam upacara ritual. Ia dianggap sebagai makanan kesukaan roh-roh halus yang diundang, tetapi di luar konteks itu ia hanya sebagai binatang piaraan. Begitu juga dengan musik dalam upacara ritual, ia dianggap sakral dan mengandung kekuatan gaib. Bila musik itu dimainkan di luar upacara atau dalam kesenian Jonggan, ia hanya sebagai sarana penghibur yang tidak mempunyai kekuatan gaib. Kekuatan gaib itulah yang mendorong manusia dapat berkomunikasi dengan makhluk halus. Hubungan religius ini yang diaplikasikan pada irama musik Dayak Kanayatn dalam bentuk simbol. Di situlah masyarakat menyampaikan segala hajat melalui upacara, karena upacara merupakan kesatuan rangkaian berbagai bentuk dan unsur komunikasi dengan ilah-ilah Hyang, roh alam, atau roh nenek moyang.13. Oleh karena itu upacara dan musik merupakan simbol kesatuan dan kesucian yang diungkapkan melalui berbagai bentuk komunikasi terhadap ilah-ilah tersebut.
4. Simbol Keagungan
Masyarakat Dayak menganggap Jubata mempunyai sifat Agung. Ia harus dipanggil atau didatangkan dengan menggunakan irama musik yang indah untuk memujiNYA. Irama yang menggabarkan tabuhan ini (dalam Tradisi Musik Dayak Kanayatn), seperti Jubata Manta (sesaji dibersihkan dan didandani sebelum dipotong), Jubata Masak (sesaji dibersihkan setelah dipotong), Jubata Babulakng (musik dan tarian untuk Jubata), dan Jubata Pulakng (mengantar Jubata pulang dengan musik). Melalui beberapa irama musik tersebut, Tuhan diagungkan dengan pemberian sesaji. Melalui musik itu pula Jubata sebagai penguasa tertinggi dijunjung dangan segala kemegahan upacara untuk memohon segala restu dan berkah dalam kehidupan.
5. Simbol Perjalanan ke Alam Gaib
Simbol ini mengandung makna perjalanan badan halus Pemaliatn ke alam gaib untuk mengadakan hubungan dengan makhluk halus yang mengganggu manusia dan mengembara mencari semangat orang yang diobati. Pengembaraan pencarian semangat ini dinamakan Ngaranto’. Di sini tergambar adanya dua dunia sebagai wujud kesatuan, yaitu hadirnya dunia gaib pada dunia manusia. Kehadiran itu melalui suatu jembatan yang dilambangkan dengan irama musik Ngaranto.
Daya-daya magi yang terkandung dalam tari dan syair-syair lagu merupakan perwujudan ruang dan waktu yang bersifat magis. Di situ digambarkan hubungan manusia dengan Tuhan sebagai kesatuan lingkaran, dimana dalam ritual yang dianggap sakral, pemimpin upacara dipercaya dapat menyatu dengan kekuatan magis tersebut. Pada tahapan ini totalitas dunia atas dan dunia manusia senantiasa diperlukan. Dunia atas adalah substansi tak berwujud, abstrak dan tidak terindera, namun terasa kehadirannya. Epistemologi dunia atas bukan empirik dan rasional, tetapi mistik dan berhubungan dengan batin. Ia ada di dunia manusia tetapi tidak dikenal secara empirik keseharian dan di luar nalar akal manusia. Oleh karena itu, pertanda kehadiran dunia atas di dunia manusia harus dikenal lewat simbol-simbol. Seperti halnya dalam irama musik Dayak Kanayatn, dimana Dunia Atas dilambangkan dengan Agukng. Dunia Tengah atau dunia manusia dilambangkan dengan Dau. Perpaduan keduanya dilambangkan dengan “bunyi” sebagai simbol hubungan transenden dua dunia tersebut.
6. Simbol Penghormatan
Simbol penghormatan terdapat dalam irama musik Totokng yang dibawakan dalam upacara Totokng, yaitu upacara pemberian makan (prosesi Ngantukng) Kepala Kayauan (kepala manusia yang didapat dengan Mangayau).14. Di sini yang dihormati bukan orang yang mengayau, tetapi roh orang yang kepalanya dikayau. Tujuannya adalah untuk Muakng Sangar (membuang dosa) atau menghindari kutuk dari orang yang dikayau.
Musik dan semua tingkah laku dalam upacara Totokng merupakan simbol penghormatan untuk roh orang yang diKayau. Hal ini karena segala sesuatu yang diekspresikan dalam upacara bertujuan untuk penghormatan, sekaligus memohon keselamatan dan keberhasilan hidup yang akan datang. Upacara ini merupakan refleksi pernyataan ketundukan manusia kepada Tuhan yang menguasai kehidupan dan jagad raya, sehingga dalam upacara tersebut terdapat dua tujuan, yaitu penghormatan kepada roh halus dan kepada Jubata yang merupakan lambang kesatuan antara Dunia Atas (kepada Jubata), Dunia Bawah (kepada roh kepala Kayauan), dan Dunia Tengah (manusia sebagai pelakunya).
7. Simbol Perdamaian
Arti perdamaian yang dikandung irama musik Dayak Kanayatn adalah lambang perdamaian dengan makhluk halus, dimana makhluk tersebut sengaja didatangkan untuk dimintai perdamaian agar tidak mengganggu manusia lagi. Perbedaan pendapat atau perselisihan dapat saja terjadi tanpa disengaja. Apalagi terhadap makhluk halus yang tidak terlihat mata telanjang. Masyarakat setempat percaya terkadang manusia mempunyai kesalahan karena kelalaiannya sendiri, seperti jalan sembarangan tanpa permisi, sehingga merusak tempat atau mainan makhluk halus dan kencing sembarangan yang dapat mengenai makhluk halus atau rumah mereka. Inilah yang menjadi penyebab makhluk halus itu marah dan membuat manusia sakit (balas dendam), sehingga kalau diobati makhluk halus tersebut harus dipanggil dan diadakan perdamaian dengan cara memberi sesaji dan memainkan irama musik Dayak Kanayatn.
Konon kabarnya jaman dahulu bila ada perdamaian antara dua suku yang bertikai, maka harus diadakan upacara adat yang diiringi musik sambil dilakukan pembayaran denda adat. Bila pertikaian kembali terjadi pada kedua suku yang bertikai tadi, maka musik ditabuh kembali untuk mengingatkan perdamaian yang pernah dilakukan kedua suku tersebut.
8. Simbol Persatuan
Musik dapat dijadikan lambang persatuan masyarakat. Melalui musik orang dapat mengenali tradisinya, karena ia mempunyai ciri-ciri sesuai dengan budaya yang melingkupinya. Begitu pula musik Dayak, ia merupakan perwujudan budaya dan mengandung ciri budaya masyarakat pemiliknya. Musik dianggap sebagai gambaran ruang dan wadah kreatifitas masyarakat, serta gambaran ikatan kekeluargaan. Musik mengajarkan kepada mereka tentang nenek moyang yang sama dan menganjurkan mereka bersatu dalam ikatan kekeluargaan. Bukan saja pada manusia, melainkan juga dengan makhluk halus yang ada di dunia ini, karena mereka mempunyai satu nenek moyang sama, hanya keturunannya saja yang berbeda. Oleh karena itu setiap upacara, makhluk halus yang jahat pun mereka undang dan mereka hormati, sebagaimana layaknya manusia. Sebagai contoh ketika irama musik Dayak Kanayatn dimainkan, masyarakat akan merasa dalam suatu ikatan kekeluargaan. Rasa kebersamaan ini berimbas pula pada pergaulan di luar masyarakat Dayak. Mereka menganggap setiap orang harus dihormati, sampai kepada tradisi penyambutan tamu, dimana setiap orang datang selalu di beri makan. Seperti kata pepatah “jangankan talino, asu atakng kame mere’ makan” artinya “jangankan manusia, anjing datang kami beri makan”. Inilah yang dilambangkan dalam irama musik Dayak Kanayatn.
Simbol persatuan itu sama halnya dengan bendera. Ia hanya kain berwarna merah dan putih, namun ia mengandung simbol persatuan rakyat Indonesia. Seandainya kain merah dan putih itu belum dirangkai menjadi satu, maka kain itu bukan sebagai simbol persatuan, melainkan hanya kain biasa. Ketika dirangkai dan ditampilkan dalam bentuk bendera negara, barulah ia diakui sebagai lambang persatuan. Begitu pula dengan instrumen, hanya merupakan benda budaya biasa. Ketika instrumen itu dimainkan menjadi sebuah musik, barulah ia menjadi sebuah musik yang mengandung simbol dan diakui sebagai milik bersama. Hal demikian membuktikan bahwa musik tersebut merupakan sebuah simbol dan setelah ia diakui sebagai milik bersama, secara otomatis ia menjadi sebuah lambang persatuan masyarakat pemilik kesenian tersebut.
Kepustakaan
1. Lahajir, Etnoekologi Perladangan Orang Dayak Tunjung Linggang (Yogyakarta: Galang Press, 2001), p. 41.
2. Ernst Cassirer, “An Easy On Man, An Introduction to a Philosophy of Human Culture”, seperti yang dikutip Budiono Herusatoto dalam bukunya Simbolisme dalam Budaya Jawa, op.cit., p. 9.
3. Susan K. Langer, “Problem of Art”, terj., Fx. Widaryanto, Problematika Seni (Bandung: ASTI Bandung, 1988), p. 128.
4. Susan K. Langer, “Felling and Form”, seperti dikutip oleh Alan P. Merriam dalam bukunya “Anthropology of Music”, terj. Triyono Bramantyo, Antropologi Musik (Yogyakarta: Perpustakaan Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Bagian 3, 2005), p. 3.
5. Alan P. Merriam, Ibid., p. 3.
6. Wawancara langsung dengan Alimin Ala, pemain Dau We’nya, 12 April 2005, Pal 20 Ngabang, Kab. Landak, Kalimantan Barat. Diijinkan untuk dikutip.
7. Noerid Haloei Radam, Religi Orang Bukit (Yogyakarta: Yayasan Semesta, 2001), p. 30.
8. Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis Terhadap Artefak-Artefak Kabudayaan Indonesia (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002),p. 10.
9. Mircea Eliade, “The Sacred and The Frofane”, terj. Nuwanto, Sakral dan Profan: Menyingkap Kebenaran Agama (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), p. 26.
10. Wawancara langsung dengan Alimin Ala, pemain Dau We’nya, 12 April 2005, Pal 20 Ngabang, Kab. Landak, Kalimantan Barat. Diijinkan untuk dikutip.
11. Dukun pergi ke gunung Bawakng untuk berkomunikasi dengan roh leluhur, roh halus, dan Jubata.
12. J. Van Baal, “Symbols For Communication: An Introduction to the Anthropologycal Study of Religion”, seperti dikutip Noerid Haloei Radam dalam bukunya Religi Orang Bukit, op.cit., p. 3.
13. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1974), p. 251.
14. Wawancara langsung dengan Sujarni Aloy, Peneliti Institut Dayakologi, 3 Mei 2005, Jl. Budi Utomo Blok A3 No. 2-4, Pontianak, Kalimantan Barat. Diijinkan untuk dikutip.
0 SEKILAS MUSIK TRADISI KALIMANTAN TENGAH
Sumber: PUTRI ANGGREYNI
Alamat: http://www.scribd.com/doc/14217220/SENI-MUSIK-SUKU-DAYAK
Seni musik memegang peranan penting dalam hidup keseharian Suku
Dayak, terlebih dimasa dahulu. Pewarisan budaya yang lebih dikenal dengan
istilah Tetek Tanum, terkadang menggunakan kecapi sebagai sarana. Tetek
Tanum adalah cara bercerita dengan kalimat berirama tentang asal usul
nenek moyang, sejarah masa lalu suku, tentang kepahlawanan pada
generasi penerus.
Dalam setiap upacara adat, pesta pernikahan, acara kematian, suara musik
dalam bentuk Gandang Garantung. Musik Gandang Garantung adalah
gabungan dari suara beberapa alat musik yaitu buah gandang atau kendang
yang dimainkan oleh satu orang. Garantung atau gong berjumlah lima buah,
tiga gong dimainkan oleh seorang dan dua lainnya dimainkan oleh orang
yang berbeda.
Pada umunya Suku Dayak gemar melantunkan ungkapan hati dan
perasaan , kisah-kisah kehidupan dan kepahlawanan sukunya dengan
kalimat berirama. Ekspresi kalimat yang dilantunkan dengan irama lagu
berbeda, misaknya Sansana Kayau memiliki irama lagu tertentu, begitu
pula Mohing Asang, Ngendau dan sebagainya.
Namun dari awal hingga akhir irama tersebut monoton dan diiringi
musik kecapi. Nyaris dalam setiap upacara adat dilengkapi dengan tradisi
tersebut.
Mansana Kayau
Mansana Kayau ialah kisah kepahlawanan yang dilagukan.
Biasanya dinyanyikan bersaut-sautan dua sampai empat orang,
baik perempuan ataupun laki-laki.
Mansana Kayau Pulang
Mansana Kayau pulang ialah kisah yang dinyanyikan pada waktu malam
sebelum tidur oleh para orang tua kepada anak dan cucunya dengan
maksud membakar semangat anak turunannya untuk membalas dendam
kepada Tambun Bupati yang telah membunuh nenek moyang mereka
Karungut
Karungut ialah sejenis pantun yang dilagukan. Dalam berbagai acara
karungut sering dilatunkan, misalnya pada acara penyambutan tamu yang
dihormati. Salah satu ekspresi kegembiraan dan rasa bahagia diungkapkan
dalam bentuk karungut. Terkadang ditemukan perulangan kata pada akhir
kalimat namun terkadang juga tidak. Untuk mengamati cara tutur orang
Dayak dalam mengekspresikan perasaan mereka, maka terjemahan dalam
Bahasa Indonesia dibuat dalam sebagaimana adanya kata per kata.
Mohing Asang
Mohing Asang ialah nyanyian perang. Bila panglima telah membunyikan
salentak tujuh kali, kemudian terdengar nyanyian Mohing Asang, itu
berarti sebuah perintah untuk menyerang dan maju.
Ngendau
Ngendau ialah senda gurau yang dilagukan. Biasanya dilakukan oleh para
remaja baik laki-laki ataupun perempuan secara bersaut-sautan.
Kalalai-lalai
Kalalai-lalai ialah nyanyian yang disertai tari-tarian Suku Dayak Mama
di daerah Kotawaringin.
Natum
Natum ialah kisah sejarah masa lalu yang dilagukan .
Natum Pangpangal
Natum Pangpangal ialah ratap tangis kesedihan pada saat terjadi
kematian anggota keluarga yang dilagukan.
Dodoi
Dodoi ialah nyanyian ketika sedang berkayuh diperahu atau dirakit.
Dondong
Dondong ialah nyanyian pada saat menanam padi dan memotong padi.
Marung
Marung ialah nyanyian pada saat upacara atau pesta besar dan meriah.
Ngandan
Ngandan ialah nyanyian yang dinyanyikan oleh para lanjut usia yang
ditujukan kepada generasi muda sebagai pujian, sanjungan dan rasa kasih
sayang.
Mansana Bandar
Mansana artinya cerita epik yang dilagukan. Bandar ialah nama seorang
tokoh yang sangat dipuja dizamannya. Bandar hidup di zaman lewu uju dan
diyakini bahwa tokoh Bandar bukan hanya sekedar mitos. Hingga saat ini
orang-orang tertentu yang bernazar kepada tokoh Bandar. Keharuman
namanya karena pada kepribadiannya yang sangat simpatik dan menarik,
disamping memiliki sifat kepahlawanan dan kesaktian yang tiada duanya. Banyak sansana tercipta untuk memuji dan mengagungkan tokoh Bandar
ini, namun dengan versi yang berbeda-beda.
Karunya
Karunya ialah nyanyian yang diiringi suara musik sebagai pemujaan
kepada Ranying Hatala.Dapat juga diadakan pada saat upacara
pengangkatan seorang pemimpin mereka atau untuk menyambut
kedatangan tamu yang sangat dihormati.
Baratabe
Baratabe ialah nyanyian untuk menyambut kedatangan pada tamu.
Kandan
Kandan ialah pantun yang dilagukan dan dilantunkan saut menyaut baik
oleh laki-laki atau perempuan dalam suatu pesta perkawinan. Apabila pesta
yang diadakan untuk menyambut tamu yang dihormati maka kalimat-
kalimat yang dilantunkan lebih bersifat kalimat pujian, sanjungan, doa dan
harapan mereka pada tamu yang dihormati tersebut. Tradisi ini biasa
ditemukan pada Suku Dayak Siang atau Murung di Kecamatan Siang dan
Murung, Kabupaten Barito Hulu.
Dedeo atau Ngaloak
Dedeo atau Ngaloak sama dengan Kandan hanya istilahnya saja yang berbeda,
karena Dedeo atau Ngaloak adalah tradisi Suku Dayak Dusun Tengah didaerah Barito Tengah,
Kalimantan Tengah.
Salengot
Salengot ialah pantun berirama yang biasa diadakan pada pesta
pernikahan, namun dalam upacara kematian Salengot terlarang oleh adat
untuk dilaksanakan. Salengot khusus dilakukan oleh laki-laki dalam
menceritakan riwayat hingga berlangsungnya pernikahan kedua mempelai
tersebut. Alat musik yang biasa terdapat di dalam kebudayaan Suku Dayak adalah
sebagai berikut
Garantung
Garantung adalah gong yang terdiri dari 5 atau 7 buah, terbuat dari
tembaga.
Sarun
Sarun ialah alat musik pukul yang terbuat dari besi atau logam. Bunyi
yang dihasilkan hanya lima nada.
Salung
Salung sama dengan Sarun, tetapi Salung terbuat dari bambu.
Kangkanung
Kangkanung
Kangkanung ialah sejenis gong dengan ukuran lebih kecil berjumlah lima
biji, terbuat dari tembaga.
Gandang Mara
Gandang Mara ialah alat musik perkusi sejenis gendang dengan ukuran
setengah sampai tiga per empat meter. Bentuki silinder yang tewrbuat
dari kayu dan pada ujung permukaan di tutup kulit rusa yang telah di
keringkan. Kemudian di ikat rotan agar kencang dan lebih kencang lagi di
beri pasak.
0 Fungsi Musik Dayak dalam Upacara Perdukunan (liatn)
Fungsi pada dasarnya adalah sistem yang saling berkaitan antara unsur-unsur pembentuknya. Istilah sistem (systema, dalam bahasa Yunani) bisa berarti entitas atau alat analisis.Suatu sistem merupakan entitas yang tersusun dari berbagai unsur, unit, komponen secara integral atau teratur untuk menjaga keseimbangan sistem itu sendiri. Sistem merupakan keseluruhan perangkat yang tersusun dari sekian banyak bagian dan berfungsi secara timbal balik. Ia saling memberi dan menerima guna memelihara dan mendukung suatu keseimbangan. Relasi yang terjadi diantara komponen dalam sistem umumnya bersifat teratur dan berkesinambungan”.1.
Suatu budaya musik mencakup gagasan-gagasan, tindakan, karena musik adalah suatu gejala manusia, untuk manusia dan mempunyai fungsi sosial dalam situasi sosial.2. Hal ini karena berbagai unsur dalam sistem bersifat fungsional. Fungsi sosial musik dalam masyarakat harus dilihat bahwa musik itu berperan dan dapat memberi, sehingga ia dapat bertahan dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga dengan keberadaan musik Dayak dalam masyarakat pemiliknya, mereka memerlukan keberadaan sebuah musik untuk kepentingannya, baik kepentingan pribadi maupun kepentingan sosial. Hal ini karena pandangan yang tumbuh dalam masyarakat Dayak menyatakan bahwa musik mempunyai hubungan dengan kehidupannya, memiliki fungsi, simbol, dan nilai yang berhubungan dengan kepercayaan, adat istiadat, sekaligus sebagai ciri budaya lokal.
Hubungan sosial masyarakat mempunyai kesatuan yang dinamakan kesatuan fungsional.3. Hubungan antara fungsi itu saling terkait dan mendukung antara satu dengan lainnya. Begitu pula dengan musik dan upacara, ia merupakan sesuatu yang mempunyai fungsi bagi masyarakat dan berperan sebagai tonggak keberlangsungan budaya sebagai efek dari kebudayaan adat atau pranata solidaritas sosial.4. Kenyataan fungsionalitas ini akhirnya memposisikan musik sebagai hasil dari aktivitas artistik dan dijadikan sebagai literatur estetik bagi masyarakat itu sendiri.
Irama musik Dayak mempunyai fungsi secara internal dan eksternal. Secara internal musik mempunyai fungsi bagi upacara itu sendiri. Meskipun pada dasarnya musik adalah bagian upacara, namun ia juga mempunyai peranan untuk mempertegas posisinya, sehingga musik tersebut memberikan makna khusus bagi upacara yang diikutinya.
Fungsi internal sejalan dengan fungsi upacara, karena musik merupakan bagian dari upacara yang mempunyai fungsi sama dengan fungsi upacara. Musik sebagai bagian upacara tidak terlepas dari peranan upacara itu sendiri. Upacara memberikan ruang gerak kepada musik, sehingga musik mempunyai keleluasaan untuk membentuk jalinan fungsi di dalamnya. Begitu juga sebaliknya, upacara ditunjang oleh keberadaan musik sebagai unsur penting di dalamnya yang mambuat upacara itu bermakna dan berfungsi bagi masyarakat pemiliknya.
Upacara berperan sebagai pembentuk identitas budaya. Ia merupakan wadah kreatifitas dari sumbangan yang diberikan kepada keseluruhan sistem sosial. Hal ini terjadi karena suatu unsur kebudayaan akan tetap bertahan apabila memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakatnya, sebaliknya unsur itu akan punah bila tidak berfungsi lagi.5. Fungsi musik secara internal melibatkan peran musik dalam menentukan bentuk pemberian musik sesuai penempatannya. Misalnya musik dimainkan pada prosesi tertentu, maka prosesi itu telah berperan sebagai wadah yang menyebabkan musik berfungsi bagi prosesi upacara tersebut. Hubungan keduanya menciptakan keharmonisan antara peranan musik yang berfungsi dan peranan upacara sebagai wadah dari fungsi. Fungsi musik di sini dapat dikategorikan menjadi tujuh fungsi, yaitu: (1) sebagai pemanggil kekuatan gaib; (2) Penjemput roh-roh leluhur pelindung untuk hadir di tempat pemujaan; (3) memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat; (4) sebagai pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat-tingkat kehidupan seseorang; (5) pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu dalam perputaran waktu; (6) peringatan kepada nenek moyang dengan menirukan kegagahan dan kesigapannya; (7) Perwujudan dari hasrat untuk mengungkapkan keindahan”.6.
Musik Dayak juga mempunyai fungsi eksternal, yaitu yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat. Fungsi ini lebih mengarah kepada peranannya dalam masyarakat, sehingga musik tersebut dianggap dapat memberikan sesuatu hal penting bagi masyarakat. Fungsi eksternal mencakup gagasan-gagasan atau ide-ide yang sejalan dengan kebutuhan masyarakat. Ia harus dilihat sebagai “sesuatu yang memberi” untuk melengkapi kehidupan masyarakat, baik berhubungan dengan konsep kepercayaan atau bagian dari suatu tatanan sosial yang dibangun bersama.
Sesungguhnya fungsi musik dalam masyarakat tidak terlepas dari peran masyarakat pendukungnya. Perkembangannya sejalan dengan perkembangan intelektualitas dan kreativitas masyarakat pemiliknya. Segala sesuatu yang berhubungan dengan konsep kepercayaan maupun adat yang berlaku dituangkan ke dalam musik, sehingga musik mempunyai fungsi sebagai penyelaras kehidupan sosial yang bersifat normatif. Ia dapat menyelaraskan hubungan antar individu dan hubungan manusia dengan dunia gaib. Disamping itu musik juga diperlukan untuk penghayatan nilai-niali estetis dan pembelajaran falsafah kehidupan, sebagai contoh fungsi musik dalam upacara Baliatn di masyarakat Dayak Kanayatn.
Secara etimologi Baliatn terdiri dari dua suku kata, yaitu Ba dan Liatn. Ba mempunyai arti melakukan atau sedang melakukan, sedangkan Liatn adalah nama salah satu jenis ritual perdukunan dalam masyarakat Dayak Kanayatn. Baliatn berarti mengerjakan atau melaksanakan upacara ritual perdukunan, sama artinya dengan Badendo dan Belenggang atau melakukan ritual Dendo dan Lenggang.7.
Bentuk Penyajian
Penyajian merupakan segala sesuatu yang dipakai sebagai suguhan, jamuan atau hidangan.8. Istilah penyajian dalam sebuah pertunjukan dapat berarti atraksi maupun adegan yang dikemas menjadi salah satu peristiwa kesenian, seperti bagaimana sebuah musik disajikan dan bagaimana konteks pementasannya. Aspek ini merupakan sarana untuk mempermudah mengetahui konsep nilai, penggunaan, fungsi dan hubungannya dengan aspek lain, sehingga dapat dilihat dan dipelajari ciri-ciri musik tersebut sebagai sebuah pertunjukan.
Sebuah sajian musik dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu sajian ritual dan sajian hiburan. Sajian ritual cenderung terkait dengan upacara dan berhubungan dengan hal-hal gaib, seperti makhluk halus, roh leluhur, dewa, dan Tuhan. Penyajian musik ini secara spesifik biasanya berhubungan dengan agama atau kepercayaan masyarakat pemiliknya. Sajian musik hiburan tujuan hanya untuk menghibur dan tidak terkait dengan unsur ritual. Adapaun Ciri-ciri ritual suatu penyajian musik atau upacara dapat dikenal dengan bentuk pertujukan, yaitu: (1) Untuk apa musik itu disajikan; (2) Waktu penyajian; (3) Tempat pergelaran; (4) Instrumen yang digunakan; (5) Kostum; (6) Lagu yang dibawakan, dan; (7) Pemain.9. Melalui ciri-ciri inilah dapat diketahui bahwa musik tersebut termasuk dalam kategori musik ritual atau bukan.
1) Tujuan Penyajian Musik dan Upacara
Secara mendasar tujuan penggunaan musik dalam upacara ritual adalah untuk mendukung upacara, sekaligus sebagai bagian penting upacara. Upacara dianggap sebagai wadah sakral yang dapat menghubungkan manusia dengan segala kekuatan di jagad raya ini, termasuk pula hubungan manusia dengan Tuhan. Ia dianggap sebagai suatu yang suci, megah, dan sakral, terutama dijumpai pada upacara-upacara besar yang melibatkan banyak pelaku. Pelaksanaannya senantiasa dimeriahkan dengan musik sebagai lambang kemegahan upacara.
Upacara ritual dapat dikatakan sebagai sebuah wadah perilaku religius yang sarat dengan kekuatan gaib. Ia tidak mengandung arti apa-apa bila tidak disertai tindakan dan peralatan yang bersifat sakral dan religius. Tindakan itu dapat berupa mantra, tarian, dan laku persembahan, sedangkan peralatan sakral itu dapat berupa sesaji, kostum, jimat, dan instrumen musik yang digunakan dalam upacara. Tanpa dua pendukung upacara itu, sebuah upacara hanya bersifat profan (formal) seperti upacara kenegaraan dan lain sebagainya.
Tujuan penyajian musik dapat dilihat dari pelaksanaan upacara. Tujuan upacara ritual pada dasarnya untuk mengadakan hubungan religius dengan penguasa atau kekuatan gaib. Jenis-jenis ritual itu dapat berupa pengobatan, perdamaian dengan makhluk halus karena diganggu, perbaikan tingkat kehidupan, keselamatan, ungkapan syukur, peringatan daur kehidupan, dan lain sebagainya. Pada tahapan ini musik berfungsi sebagai media komunikasi antara manusia dengan sesuatu yang gaib. Melalui ciri-ciri inilah dapat diketahui bahwa sebuah upacara bersifat sakral atau formal, dan secara otomatis dapat pula diketahui bahwa musik yang digunakan dalam upacara bersifat ritual atau bukan.
2) Waktu
Waktu terkait erat dengan sistem upacara, karena antara waktu penggunaan musik dengan upacara biasanya menjadi satu kesatuan yang saling mendukung penempatannya masing-masing. Penggunaan musik Dayak dalam upacara perdukunan (liatn) disesuaikan dengan pelaksanaan upacara yang biasanya dilaksanakan malam hari. Hal ini karena waktu tersebut dipercaya masyarakat setempat sebagai masa makhluk halus berkeliaran, sehingga mudah dipanggil untuk diberi makan atau dimintai tolong untuk melakukan sesuatu.
3). Tempat
Penyajian musik dalam upacara liatn biasanya bertempat di ruangan tengah atau tempat yang agak luas. Hal ini dilakukan agar pelaku upacara dapat bergerak dengan leluasa, terutama agar pamaliatn dapat menari dengan bebas. Posisi pemain musik berdekatan dengan tempat pamaliatn menari agar dapat melihat langsung tari yang diiringi. Disamping itu tempat sengaja dipilih berdekatan dengan pamaliatn untuk mengetahui jalannya upacara.
4) Pemain Musik
Pemain adalah orang yang terlibat langsung dalam sebuah pertunjukan kesenian. Ia merupakan seorang penyaji atau seniman yang mempresentasikan karyanya untuk tujuan tertentu. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan irama musik Dayak Kanayatn dalam upacara biasanya berorientasi pada nilai-nilai estetis yang dapat menyentuh penikmatnya. Penyajian ini dilalui dengan berbagai proses dari pencarian dan pengembangan ide, penuangan teknik, kemudian menyajikannya dalam sebuah upacara. Penyajian ini berhubungan langsung dengan teknik dan gaya penampilan presentasi musikal, karena sebuah presentasi mencakup konsep, ide musikal, bentuk, dan teknik penyajian tertentu sebagai bagian daya tarik penampilan sebuah musik. Disamping itu pemain musik bukan sekedar memainkan musik apa adanya, melainkan ada beberapa hal yang harus ia ketahui dan harus dijalani (laku ritual) sebelum upacara, sampai kepada penampilannya saat upacara berlangsung.
5) Instrumen
Semua perlengkapan dan tingkah laku dalam upacara, seperti menyanyikan atau membacakan mantra, menari, memainkan musik, termasuk sesaji dan properti yang dikenakan pamaliatn (dukun) dipercaya mempunyai kekuatan gaib. Kekuatan itu dapat dimanfaatkan untuk melindungi dirinya dari gangguan makhluk halus dan dipercaya oleh masyarakat Dayak dapat mendatangkan roh halus yang dipanggil. Hal ini karena kekuatan gaib tersebut tidak hanya terdapat atau bersemayam dalam perilaku upacara saja, namun melekat pula pada semua bahan atau properti yang digunakan dalam upacara. Antara instrumen, jimat, dan properti lainnya dalam suatu upacara ritual merupakan satu kesatuan sakral yang penggunaannya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan lainnya.
6) Kostum
Kostum adalah pakaian kebesaran yang digunakan dalam suatu kegiatan.13. Kostum di sini meliputi baju dan celana yang dikenakan pelaku upacara, seperti pamaliatn, panyampakng, anak samang, dan pemain musik. Kostum yang digunakan berfungsi untuk memperindah penampilan. Sebagai contoh kostum yang digunakan dalam upacara Baliatn.
Sesungguhnya pemain musik dalam upacara liatn tidak mempunyai keharusan untuk memakai baju tertentu, kecuali pamaliatn harus menggunakan sarung seperti seorang perempuan. Hal ini karena nenek moyang pamaliatn pertama adalah seorang perempuan, sehingga untuk menghormati hal tersebut pamaliatn menggunakan sarung sebagai lambang seorang perempuan yang pertama kali menjadi pamaliatn.
7) Pelaksanaan upacara
Pelaksanaan upacara Baliatn ((melakukan perdukunan) yang biasanya diiringi musik Dayak pemakaiannya ditentukan oleh Pamaliatn (Dukun). Panyampakng (pembantu dukun dalam menjalankan ritual) memberitahukan musik apa yang harus ditabuh oleh pemain musik setelah ia mendapat instruksi dari pamaliatn. Musik yang dimainkan pada tiap prosesi berbeda-beda, menyesuaikan penyakit atau niat penyelenggara. Oleh karena itu dalam prosesi Bajampi (membuang penyakit) banyak musik yang dipakai. Adapun pemakaian musik Dayak dalam upacara liatn menyesuaikan dengan prosesi upacara dan perintah dari Pamaliatn.14.
Kepustakaan
1. Lahajir, Etnoekologi Perladangan Orang Dayak Tunjung Linggang (
2. Alan P. Meriam, “The Anthropology of Music” seperti dikutip I Komang Sudirga dalam bukunya Cakepung: Ansambel Vokal Bali (
3. A.R Redcliffe Brown, Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif (Kuala Lumpur: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980), p. 210.
4. A.R. Redcliffe Brown, “Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif”, seperti yang dikutip I Komang Sudirga, op.cit., p. 128.
5. Mulyadi, et.al., Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi Daerah Istimewa Yogyakarta (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DIY, 1984), p. 4.
6. Edy Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Jakarta: Sinar Harapan, 1981), p. 53.
7. Wawancara langsung dengan Maniamas Miden Sood, Seniman dan Dukun Dendo, 28 April 2006, Dsn. Saleh Bakabat, Ds. Aur Sampuk, Kec. Sengah Temila, Kab. Landak,
8. Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa
9. I Wayan Senen, “Aspek Ritual Musik Nusantara”, makalah yang diajukan dalam rangka peringatan Lustrum II ISI Yogyakarta, 23 Juli 1994, p. 4.
10.
11. Sebagian masyarakat zaman dahulu percaya, bahwa dukun Baliatn Daniang dapat menghidupkan orang mati.
12.
13. Bambang Marhijanto, op.cit., p. 334.
14. Wawancara langsung dengan Maniamas Miden Sood, Seniman dan Dukun Dendo, 30 April 2006, Dsn. Saleh Bakabat, Ds. Aur Sampuk, Kec. Sengah Temila, Kab. Landak,
0 WEB INDONESIA
2.http://free-7.blogspot.com/-free7 blog
3.http://banuadayak.blogspot.com
4.http://etnikprogresif.blogspot.com
0 Suku Dayak Mualang
Suku Dayak Mualang adalah salah satu sub suku Dayak Ibanic yang mendiami Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Sintang di Kalimantan Barat, Indonesia, yaitu Kecamatan :
Ciri Fisik
Menurut Prof. Lambut dari Universitas Lambung Mangkurat, secara rasial, manusia Dayak dapat dikelompokkan menjadi :- Dayak Mongoloid
- Dayak Malayunoid
- Dayak Autrolo-Melanosoid
- Dayak Heteronoid
Bahasa
Bahasa yang digunakan termasuk kelompok Ibanic group seperti halnya kelompok Ibanic Lainnya:Kantuk, bugao, desa, seberuang,Ketungau, sebaruk dan kelompok Ibanic lainnya. Perbedaannya adalah pengucapan / logat dalam kalimat dengan suku serumpun yakni pengucapan kalimat yang menggunakan akhiran kata i dan e, i dan y, misalnya: Kediri” dan Kedire”, rari dan rare, kemudian inai dan inay, pulai dan pulay dan penyebutan kalimat yang menggunakan huruf r ( R berkarat ), serta logat pengucapannya, walauun mengandung arti yang sama.Legenda
Sekitar kurang lebih 2.000 tahun lalu, kehidupan masyarakat yang kini disebut Mualang sangat terkait dengan legenda asal usul mereka dari sebuah tempat atau wilayah yang disebut Temawai/Temawang Tampun Juah, yakni sebuah wilayah yang subur di hulu sungai Sekayam kabupaten Sanggau Kapuas, tepatnya di hulu kampung Segomun, Kecamatan Noyan.Urang Panggau
Di masa lalu masyarakat yang kini disebut Mualang ini hidup dan bergabung dengan kelompok serumpun Iban lainnya dan masa itu mereka tergabung sebagai masyarakat Pangau Banyau ( kumpulan orang-orang khayangan dan manusia )kemudian kesemuanya itu disebut Urang Negeri Panggau/Orang Menua artinya orang yang berasal dari tanah ini (Borneo).Tampun Juah
'Tampun Juah' merupakan tempat pertemuan dan gabungan bangsa Dayak yang dimasa lalu yang kini disebut Ibanic group. Sebelum di Tampun Juah masyarakat Pangau Banyau hidup di daerah bukit kujau’ dan bukit Ayau, kira-kira di daerah Kapuas Hulu, kemudian pindah ke Air berurung, Balai Bidai, Tinting Lalang kuning dan Tampun Juah, dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain di mungkinkan ada yang berpisah dan membentuk suku atau kelompok lainnya. Daerah persinggahan akhir yakni di Tampun Juah. Di sana mereka hidup dan mencapai zaman Eksistensi / keemasan, dalam tiga puluh buah Rumah Panjai ( rumah panggung yang panjang ) dan tiga puluh buah pintu utama. Mereka hidup aman, damai dan harmonis.Tampun Juah sendiri berasal dari dua buah kata yakni: Tampun dan Juah, terkait dengan suatu peristiwa yang bersejarah yang merupakan peringatan akhir terhadap suatu larangan yang tak boleh terulang selama-lamanya. Tampun sendiri adalah suatu kegiatan pelaksanaan Eksekusi terhadap dua orang pelanggar berat yang tidak dapat ditolelir, yakni dengan cara memasung terlentang dan satunya ditelungkupkan pada pasangan yang terlentang tersebut, kemudian dari punggung yang terlungkup di tumbuk dengan bambu runcing, kemudian keduanya dihanyutkan di sungai.
Kesalahan tersebut dikarenakan keduanya terlibat dalam perkawian terlarang (mali) hubungan dengan sepupu sekali (mandal). Laki-laki bernama Juah dan perempuan bernama Lemay. Eksekusi dilakukan oleh seorang yang bernama lujun (algojo / tukang eksekusi) pada Ketemenggungan Guntur bedendam Lam Sepagi/Jempa.
Penggolongan Masyarakat
Kehidupan di Tampun Juah terbagi dalam tiga Statifikasi atau penggolongan masyarakat, yakni:- Bangsa Masuka / Suka (kaum kaya/purih raja), seseorang yang hidupnya berkecukupan atau kaya dan termasuk kerabat orang penting / purih Raja
- Bangsa Meluar (kaum bebas/masyarakat biasa), seorang yang hidupnya menengah kebawah, tidak terikat masalah hutang piutang dengan orang lain, atau bebas
- Bangsa Melawang (kaum Miskin/masyarakat biasa), kelompok orang yang hidupnya miskin dan terikat kontrak kerja, untuk membayar segala hutangnya sampai lunas dan tak mempunyai kewajiban hutang lainnya
Temenggung
Selain membagi tiga tingkat penggolongan masyarakatnya, penduduk Tampun Juah juga mengatur kehidupan mereka dengan membentuk pemimpin – pemimpin di setiap rumah panjang / kampung yang disebut Temenggung, tugasnya mengatur kehidupan kearah yang teratur dan lebih baik.Kehidupan Ritual
Selain itu, kehidupan Tampun juah juga erat hubungannya dengan kehidupan ritual dan keagamaan. Pemimpin spiritual tersebut adalah sepasang suami istri yang bernama Ambun menurun ( laki-laki ) dan Pukat Mengawang ( perempuan). Kedua orang tersebut merupakan symbol terciptanya manusia pertama ke dunia, sesuai dengan arti dari nama keduanya. Ambun menurun yaitu embun yang turun ke bumi, symbol seorang laki –laki dan pukat mengawan adalah celah – celah dari jala / pukat yang membentang, symbol wanita. Embun tersebut menerobos atau menembus celah pukat merupakan symbol hubungan intim antara pria dan wanita. Pasangan suami istri tersebut, mempunyai sepuluh orang anak yakni: Tujuh orang laki –laki dan tiga orang perempuan. Yaitu:- Puyang Gana ( Roh Bumi / Penguasa tanah, meninggal sewaktu lahir )
- Puyang Belawan
- Dara Genuk ( perempuan )
- Bejid manai
- Belang patung
- Belang pinggang
- Belang bau
- Dara kanta” ( perempuan )
- Putong Kempat ( perempuan )
- Bui Nasi ( awal mula adanya nasi)
Adat Istiadat Tampun Juah
Pada masa itu kehidupan di Tampun Juah diatur sesuai dengan norma –norma dan adat istiadat menyangkut kehidupan, peradaban kearah yang lebih baik hingga berkembang menjadi bangsa yang besar, kuat dan makmur. Demikian juga aturan tersebut berlaku sesama masyarakat tampun juah dan masyarakat diluarnya. Hal ini menyebabkan kehidupan masyarakat Tampun Juah semakin maju dan dikenal hingga datanglah masyarakat dari berbagai kelompok lain yang bergabung dan berlindung serta mencari kehidupan yang lebih baik di Tampun Juah. Kejayaan dan kemakmuran di Tampun Juah, telah didengar oleh para penguasa di zaman itu, hal ini menyebabkan penguasa lain diluarnya menjadi sangat iri dan berusaha untuk merebut kejayaan di Tampun Juah.Orang Buah Kana
Di masa itu kehidupan manusia dan para Dewa serta mahluk halus, sama seperti hubungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya, termasuklah hubungan yang sangat akrab dan harmonis antara masyarakat Tampun Juah dengan Orang Buah Kana ( Dewa pujaan ). Karena kejayaan masyarakat Tampun Juah sangat terkenal dan didengar oleh segala bangsa dan beberapa kerajaan, di suatu ketika sampailah berita itu ke kerajaan Sukadana (terletak di Kabupaten Ketapang). Kerajaan Sukadana merasa kuatir mendengar kejayaan dan semakin kuatnya persatuan masyarakat di Tampun Juah. Hal ini mendapat tanggapan yang negatif dan ditindak lanjuti dengan menyatakan perang terhadap Masyarakat Pangau Banyau / Sak Menua, yang lambat-laun menyebabkan Tampun Juah diserang oleh kerajaan Sukadana. Kerajaan Sukadana saat itu merupakan koloni dari Kerajaan Majapahit ( jawa hindu ), mereka mempunyai bala tentara yang tangguh dan sakti dari suku Dayak Beaju”/ Miajuk, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Mereka mengadakan ekspansi militer dari daerah Labai lawai ( sekarang Tamabak Rawang) Sukadana, masuk dan menyusuri sungai kapuas sampai ke teluk air daerah batu ampar menuju Tayan Sanggau, dan masuk sungai Sekayam dan terus ke hulunya, mengadakan penyerangan ke Tampun Juah. Dalam peperangan ini laskar dari Tampun Juah dengan gigih dan gagah berani berjuang melawan pasukan musuh dalam membela kedamaian di Tampun Juah, hingga menyebabkan musuh kalah dan dapat di usir. Perang yang pertama dikenal dengan nama Perang Sumpit, karena pada perang ini pasukan Tampun Juah dan pasukan lawan menggunakan sumpit yang pelurunya sangat beracun diberi ipuh (racun dari pohon tertentu).Tampun Juah kembali aman dan damai, tetapi tidak berlansung lama karena pihak musuh yang kalah mengajak (melalui kesaktiannya) dan mempengaruhi bangsa mahluk halus ( Setan ) secara magis, menyerang Tampun Juah. Perang kedua tak bisa dihindarkan, dengan semangat yang membara masyarakat Pangau banyau, berusaha mati-matian mempertahankan wilayahnya dari serangan mahluk halus, dan akhirnya dalam peperangan ini bangsa setan dapat juga dikalahkan.
Tampun Juah untuk sementara waktu berangsur damai ternyata pihak musuh yang kalah berperang, masih belum puas, mereka berusaha menggunakan segala cara, dan dengan kesaktian yang mereka miliki, mereka mempengaruhi bangsa binatang agar menyerang Tampun Juah. Peperangan yang ketiga akhirnya terjadi, sama halnya dengan peperangan terdahulunya, bangsa binatang juga dapat dikalahkan. Karena masih kurang puas maka musuh pun mencari cara yang lain lagi yakni, dengan menanam berbagai jamur beracun diladang, dan sekitar pemukiman masyarakat Tampun Juah, Hal ini menyebabkan banyak masyarakat Tampun Juah yang keracunan, tetapi keracunan ini dapat disembuhkan menggunakan akar dan tumbuhan hutan lainnya. Setelah sembuh racun kulat itu ternyata berdampak pada perubahan intonasi bahasa, logat dan pengucapan bahasa komunikasi yang menjadi bahasa keseharian. Hal ini menyebabkan timbulnya kelompok- kelompok bahasa yang berbeda logat maupun pengucapan ( ingat menara babel dalam perjanjian lama kitab suci umat kristiani ) walaupun masih dimengerti / serumpun. ( Ibanic Group ).
Melihat perpecahan bahasa tersebut, pihak musuh memandang hal ini merupakan suatu celah kelemahan dan menjadikan hal ini sebagai ide, untuk mengalahkan masyarakat Tampun Juah. Pihak musuh tahu bahwa untuk merebut dan mengalahkan Tampun Juah tidak mampu melalui perang, melainkan dengan mengotori Tampun Juah. Pada saat keracunan terjadi dimana-mana, membuat kekuatan masyarakat Tampun Juah menjadi rapuh. Hal ini tidak disia-siakan oleh bangsa setan, sekali lagi mereka mengirimkan sihirnya yakni dengan cara mengotori setiap tempat kegiatan sehari-hari, tempat tinggal dan perabotan makan dengan Tahi. Karena terus-menerus muncul dan tak kunjung selesai dalam jangka waktu yang lama, akhirnya masyarakat Tampun Juah strees, panik dan tidak tahan lagi, menyebabkan gemparlah Tampun Juah.
Menyikapi hal itu maka para temenggung berkumpul untuk memecahkan permasalahan ini. Pekat Banyau (musyawarah) dilakukan dan dari hasil pekat, (musyawarah ) diambilah keputusan untuk meninggalkan Tampun Juah secara berangsur -angsur. Proses keberangkatan dipimpin oleh masing – masing temenggung dan yang berangkat dahulu, harus membuat lujok (tunggul kayu) atau tanda pada setiap tempat yang dijalani kelompoknya, agar diikuti oleh kelompok belakangnya dengan perjanjian: “jika kelak menemukan tempat yang subur, enak dan cocok nanti, mereka berkumpul lagi dan membina kehidupan seperti masa di Tampun Juah.3 Setelah selesai bepekat (musyawarah) maka diputuskanlah siapa yang berangkat terlebih dahulu. Orang Buah Kana (Dewa Pujaan), kembali ke khayangan, selanjutnya kelompok pertama masyarakat Pangau Banyau yang berangkat adalah:
- Kelompok yang kini di sebut Dayak Batang Lupar / Iban, berangkat menyusuri sungai sai, tembus ke muara sungai ketungau sampai ke Batang Lupar, Kapuas hulu. ( kisah ini dituturkan sama dan diakui oleh kelompok Dayak Iban dari Sadong, Serawak, Malaysia). Dalam pengembaraannya, dan sesudah sampai di Batang Lupar, kelompok ini kemudian terpecah dan membentuk kelompok – kelompok atau sub- sub Ibanic ( Kantuk, Undup, Gaat, Saribas, Sebuyau, Sebaruk, Skrang, Balau ) dan lain-lain yang juga menyebar dan mencari tanah dan kehidupan baru.
- Kelompok Ketungau. Menyusuri aliran Sungai Sai, terus masuk sungai ketungau, dan menetap disana di sepanjang sungai ketungau dan membentuk kelompok-kelompok kecil diantaranya: Bugao, Banyur, Tabun dll.
- Kelompok Mualang. Kelompok ini adalah kelompok yang bertahan terakhir di Tampun Juah, hal ini karena pada waktu itu kelompok ini ada pantangan pergi karena ada salah seorang yang melahirkan, setelah sekian lama kemudian kelompok ini menyusul kelompok keduanya dengan menyusuri Sungai Sai, sampai di muara sungai ketungau. Kelompok ini di pimpin oleh: Guyau Temenggung Budi, mereka membawa seorang pengawal / manok sabung / Letnan yang terkenal di zamannya bernama Mualang. Dalam perjalanannya menyusuri sungai ketungau, rombongan Guyau Temenggung Budi tersesat, hal ini dikarenakan adanya banjir yang menyebabkan tanda ( lujok ) yang dibuat pendahulunya berubah arah di terpa arus banjir, setelah sampai dimuara sungai ketungau. Hal ini menyebabkan mereka menghentikan perjalanannya untuk sekian lama. Sejalan dengan itu pengawal rombongan ( manok sabung ) bernama; Mualang meninggal dunia ditempat itu, ia dikubur disebelah kanan mudik sungai ketungau. Mualang diabadikan untuk menyebut nama anak sungai tersebut menjadi sungai Mualang dan rombongan Guyau temenggung budi mengabadikan nama kelompok yang dipimpinnya tersebut dengan nama Orang Mualang, yang berasal dari sungai Mualang dan lambat laun oleh penerusnya disebut dengan nama Dayak Mualang.4 Setelah berkabung, mereka memutuskan menetap di sungai Mualang untuk beberapa lama. Suatu hari ketika sedang mencari ikan menyusuri sungai Mualang, mereka menemukan sebuah lubuk ( teluk yang dalam ) yang banyak ikannya, kemudian berita gembira ini disampaikan ke segenap kelompok orang Mualang lainnya dan akhirnya mereka beramai – ramai mengambil ikan dilubuk tersebut.Setelah mendapatkan ikan yang banyak, segala dayung dan peralatan cari ikan lainnya mereka tenggelamkan dilubuk itu, dan lubuk itu mereka sebut dengan nama lubuk Sedayung. Selain mencari ikan mereka juga kerap kali berburu disekitar hutan sampai jauh masuk ke segala arah. Pada suatu ketika disaat sedang berburu, mereka (orang Mualang), menemukan pemburu lainnya yang mempunyai bahasa sama dengan rombongan orang Mualang, tetapi bukan dari rombongan maupun komunitas mereka. Orang tersebut mengaku berasal dari Tanah Tabo.” Berita ini kemudian di sampaikan kepada pimpinan orang Mualang, yakni; Guyau temenggung Budi yang akhirnya membawa seluruh orang – orang Mualang yang dipimpinnya untuk bergabung dengan masyarakat di Tanah Tabo”. Hingga dibatalkanlah rencana untuk mencari rombongan terdahulunya.
Penduduk Tanah Tabo'
Penduduk di Tanah Tabo’ merupakan keturunan dari keseka” Busong. Keseka” Busong kawin dengan Dara jantung, anak Petara Seniba (Dewa di khayangan), Dara jantung dihulurkan oleh Petara Seniba (ayahnya) menggunakan tali Tabo”Tengang (akar kayu) Bekarong Betung ( diselimuti bamboo betung ) anak dari keseka” Busong dan Dara jantung adalah Bujang Panjang, yang kawin mali ( terlarang ) dengan Dayang Kaman Dara Remia ( bibinya atau adik ibunya) di khayangan yang menyebabkan kakeknya (Petara Seniba) murka, dan mengusir bujang panjang kebumi tempat ayahnya berada yakni keseka” Busong. Anak hasil kawin mali mereka, menjadi berbagai macam hama padi dan lolos menyebar kebumi.5Guyau Temenggung Budi
Rombongan Mualang pimpinan Guyau Temenggung Budi kemudian berbaur dengan masyarakat Tanah tabo” selanjutnya mereka disebut dengan nama Dayak Mualang. Mereka menyebar ke Sekadau, seluruh Belitang, dan sebagian ke Sepauk, Kabupaten Sintang. Anak - Anak Ambun Menurun dan Pukat Mengawang lainnya juga menyebar mengikuti kehidupan masing – masing dan ada yang membentuk kelompok suku – suku serumpun lainnya. Salah satu anak dari Ambun Menurun dan Pukat Mengawang yaitu: Putong Kempat, kawin dengan Aji Melayu ( berasal dari Semenanjung, di masa kepercayaan hindu, sebelum masuknya Islam, hal ini diperkuat dengan kubur dan bukti peninggalan lainnya di Sepauk Kabupaten Sintang ). Demikianlah urutan silsilah perkawinan Putong kempat dengan Aji Melayu.1. Putong kempat ( Dayak Mualang dengan Aji Melayu ( sepauk ) Anaknya yang bernama 2. Dayang lengkong kawin dengan Patih Selatong menurunkan 3. Dayang Randung, kawin dengan Adipati Selatung, menurunkan 4. Abang Panjang, kawin, menurunkan 5. Demong Karang kawin, menurunkan 6. Demong kara (Raja keenam kerajaan Sepauk), kawin, menurunkan 7. Demang Minyak, kawin (Raja Kedelapan kerajaan Sepauk) menurunkan 8. Demong Irawan, bergelar Jubair I. Kawin, menurunkan 9. Dara Juanti (Raja kesembilan th.1385) 10. Dara juanti kawin dengan Patih Logender dari Jawa masyarakat Kerajaan Majapahit (hindu). (buku Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. 1975, hal.197)
Dayak Lebang Nado
Dari turunan Putong kempat terjadilah pembauran yang melahirkan bangsa / suku yang membaur dan menyebar, berkembang hingga kini. Keturunan tersebut adalah Dara Juanti kawin dengan Patih logender. Sebagai bukti hantaran dari pihak Patih logender, maka dibawalah dua belas orang parinduk atau bukti hantaran, kemudian kedua belas orang ini membentuk komunitas disekitar Bukit kelam dan lambat laun menjadi komunitas Dayak Lebang Nado. Percampuran dari keturunan Dayak Mualang, Melayu hindu dan Jawa hindu.Mualang Tanjung
6 Rombongan Dayak Mualang yang menyebar ke Sekadau ada yang terpecah membentuk kelompok baru; Mualang Tanjung, dan berbaur dengan kelompok lainnya Dayak Seberuang, Dayak Desa, Ketungau sesat dan sebagainya. Sebagian bercampur pula dengan rombongan kelompok Dara Nante dalam usahanya mencari Babai Cinga (suami Dara Nante). Rombongan tersebut dipimpin oleh Singa Patih Bardat dan Patih Bangi. mereka tersesat ketika menyebar mencari daerah yang disebut Tampun Juah. Rombongan Singa Patih Bardat bercampur dengan Dayak Mualang, menurunkan suku -suku kecil yakni: Dayak Kematu”, Dayak Benawas, Dayak Mualang Sekadau di daerah Lawang Kuari (Lawang Kuari, adalah Betang yang dikutuk melebur menjadi batu karena sebuah peristiwa).Patih Bangi
Sedangkan Rombongan yang dipimpin oleh Patih Bangi menyusuri hulu sungai ke daerah yang disebut Belitang membaur kemudian disebut sebagai Dayak Mualang dan menyebar ke sekitarnya. Dayak Mualang di daerah Belitang inilah yang banyak menurunkan Raja –Raja Sekadau, dan Raja Belitang. Kerajaan kecil tersebut lambat laun pindah ke Sekadau.Kerajaan Sekadau
Kerajaan Sekadau sendiri pernah diperintah berturut – turut oleh Keturunan Prabu Jaya dan keturunan Raja-Raja Siak Bulun / Bahulun dari sungai Keriau, Kabupaten Ketapang. Adapun Raja Sekadau pertama adalah pangeran Engkong, yang menpunyai tiga orang putra :- Pangeran Agong
- Pangeran Kadar
- Pangeran Senarong
Kerajaan Sekadau mulai memeluk agama Islam setelah Pangeran Kadar Wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Pangeran Suma, beliau mendalami agama Islam di Mempawah. Dayak Kematu yang merupakan gabungan dari pecahan rombongan Dara Nante dan Dayak Mualang di sekitar Sekadau, adalah yang pertama memeluk agama Islam di daerah Sekadau, selanjutnya berangsur-angsur diikuti beberapa suku Dayak lainnya. mereka kemudian menyebut dirinya dengan sebutan; Senganan ( keturunan Dayak yang memeluk agama Islam). Perkembangan agama Islam di kerajaan Sekadau semakin pesat, maka pindahlah pusat kerajaan Sekadau ke sungai bara dan disitu didirikan sebuah Mesjid Besar.7
Daerah Penyebaran
Daerah penyebaran Dayak Mualang, setelah Sekadau juga berkembang kedaerah Belitang dan sekitarnya dan telah banyak menurun Raja-Raja Belitang. Hal ini diawali oleh seorang gadis / Dara Mualang yang lari melewati hutan karena takut akan hukuman kakeknya terhadap pusaka yang dibekalkan padanya yakni sebuah keris telah hilang.Berikut ceritanya; Pada suatu hari ketika sedang berjalan-jalan di hutan, gadis Mualang tersebut melihat seekor babi besar, karena terkejut dan membela diri, dengan cepat ia menikam babi tersebut dengan keris pusaka kakeknya, kemudian saking kuatnya tusukan itu, menyebabkan terlepasnya ganggang keris, hingga mata keris dibawa babi tersebut lari, oleh sebab itu ia sangat ketakutan pulang kerumah dan melarikan diri sekalian berusaha mencari keris pusaka kakeknya, hingga sampai kehulu kapuas. Dara tersebut bernama Dayang Imbok Benang, keturunan kesekak Busong. Dalam perjalanannya menyusuri hutan, ia ditemukan oleh Demong Rui, Raja dari Nanga Embaloh, kemudian diambil sebagai istri oleh Demong Rui. Selanjutnya Dayang Imbok Benang tersebut melahirkan dua orang anak, yang pertama / tua bernama: Kerandang Ari, yang ke dua / muda bernama: Abang bari.
Suatu ketika keduanya pulang untuk mencari tanah kelahiran ibu mereka yakni ke daerah Belitang, ulun (hamba) yang dibawanya meninggal dunia di sana, hamba tersebut bernama Belitang. Dulunya sungai Belitang adalah sungai Perupuk, karena ulun yang bernama Belitang tersebut meninggal maka sungai tersebut dinamakan sungai Belitang, dan daerah sekitarnya disebut daerah Belitang. Kerandang ari pulang ke Belitang bergabung dengan keturunan ibunya, menjadi bagian dari masyarakat Mualang. Sedangkan adiknya Abang Bari mengikuti ayahnya meneruskan pemerintahan Raja-Raja di Selimbau dan keturunannya merantau ke Belitang untuk meneruskan pemerintahan Raja – Raja Belitang.
Ratu Beringkak
Suatu hari ada salah seorang keturunan dari Abang Bari (selimbau) menghanyutkan diri mengikuti sungai Kapuas sampai ke Nanga Belitang. Ia bernama bernama Ratu Beringkak, seorang gadis. Saat ditolong oleh masyarakat Mualang, ia menceritakan asal usul purihnya (keturunannya) dan setelah di susun keturunannya, gadis tersebut dianggap sebagai Bangsa Masuka / Suka ( tingkat golongan tinggi atau Purih Raja ), hingga tiada satupun masyarakat lain yang berani mengawininya. Pada saat itu masyarakat Mualang dipimpin oleh Temenggung Saman Tangik, kemudian orang Mualang membawa Ratu Beringkak, ke hulu sungai Belitang, memperkenalkannya kepada seorang pedagang yang menjadi tokoh bagi masyarakat Melayu belitang yang bernama Meriju, oleh Meridju, Ratu Beringkak dijodohkan kepada seorang Mualang, dari Bangsa Masuka / Suka. Setelah pernikahan selesai, Meriju diberi gelar oleh masyarakat Mualang sebagai Kiayi, yakni; Kiyai Madju. Karena statifikasi sosial Dayak Mualang merupakan Bangsa Masuka / Suka dan lebih tinggi dibandingkan dengan suku Dayak maupun Senganan, ataupun suku melayu pedagang yang datang di Belitang maupun di Sekadau, maka orang Mualang tidak mau tunduk kepada peraturan dan perjanjian apapun, demikian juga terhadap Kiayi Madju sekalipun, atas jasanya menikahkan Ratu Beringkak.Hal ini memicu kemarahan Kiayi madju yang akhirnya memobilisasi orang – orang Melayu untuk menyerang Dayak Mualang yang berada dihulu sungai Merian. Dalam peperangan tersebut, orang-orang Melayu dapat dikalahkan, dan dikejar hingga tercerai-berai, sebagian lari hingga ke sungai Mengkiyang Sanggau, sisanya menetap di sekitar Belitang. Orang-orang melayu masih belum puas, mereka mendatangkan empat orang kuat Melayu pada waktu itu disebut Panglima. Terhadap orang – orang Melayu yang tersisa beserta panglimanya tersebut, yang tidak mau pergi, akhirnya Dayak Mualang daerah Belitang, mengundang Dayak Mualang keturunan dari Tampun Juah di Kaki bukit rambat yang bernama; Macan singkuh. Karena Macan Singkut telah tua, maka ia mengutus anaknya yang bernama Singa Uda Letnan, untuk menghadapi sisa –sisa orang Melayu beserta panglimanya. Pertarungan antar orang kuat terjadi yakni empat orang Panglima Melayu melawan seorang Manok Sabung Mualang. Pertarungan ini dilakukan secara sportif. Akhirnya ke empat orang Panglima Melayu tersebut dapat dikalahkan, maka Kiyai Madju dan seluruh orang Melayu dan Panglimanya pergi dan pindah dari daerah Mualang ke Nanga Jungkit, dalam perpindahan tersebut Ratu beringkak ikut serta dan di Nanga Jungkit ia meninggal dunia, tetapi sebelumnya ia minta dikubur di Nanga Ansar. Sampai saat ini Nanga Jungkit dan Nanga Ansar dianggap sebagai tempat keramat.
Daftar pustaka
- Drake Allen Richard. “Waktu dan Keterpisahan: Suatu Metanarrative Sejarah Lisan Mualang”. Dalam Kalimantan Review. Pontianak: LP3S – IDRD, 1995.
- Dunselman, Donatus. Uit De Literatuur Der Mualang – Dajaks. Nederland :Koninklijk Instituut Voor Taal-,Land- En Volkenkunde, 1959.
- Lontaan, J. U. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Jakarta: Pemerintah Daerah TK.I Kalimantan Barat, 1975.
- Marie Jeanne. Penelitian Struktur Bahasa Mualang, Proyek Penelitian Sastra dan Bahasa Indonesia dan Daerah Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yogyakarta: Dep P dan K, 1975/1976.
- Paternus. Ngelala Adat Basa Dayak Mualang. Pontianak: Pemberdayaan Pengelolaan Sumbar Daya Alam Kerakyatan (PPSDAK) Pancur kasih. 2001.
- Werry, SKM. Bebutie' aba'k sama dire'k. Belitang: Persatuan Pejuang Kesehatan Mualang (PPKM). 2007.
0 Suku Dayak Mali
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak_Darat:Dayak_Mali
Suku Dayak Mali (Darat; Tana' Mali, Keneles, Taba, Peruan) (Balai, Sanggau) adalah suku Dayak yang termasuk rumpun Klemantan Dayak Darat (80%) terdapat di Kabupaten Sanggau terutama mendiami seluruh Kecamatan Balai, Sanggau (Kota Kecamatan Batang Tarang), Kalimantan Barat.
Agama Suku Dayak Mali
Suku Dayak Mali sebagian besar beragama Kristen Katolik dan sebagian Kristen Protestan, sedangkan yang beragama Islam hampir tidak ada. Kebanyakan orang Dayak yang memeluk agama Islam karena perkawinan dengan Suku Melayu. Dalam Agama Islam juga mengharamkan babi sedangkan suku Dayak, babi merupakan binatang yang sangat penting dalam segala aspek kehidupan dalam adat Dayak. Tetapi ada sebagian Dayak mali mengakui diri secara umum dengan agama nenek moyang yaitu Dinamisme atau Animisme. Namun secara umum mengaku diri juga beragama kristen Katolik dan Protestan. Agama Islam selalu menyangkut atau berhubungan dengan suku Melayu sedangkan Dayak selalu menyebut diri sebagai orang DaratKristiani. Apabila orang Dayak masuk Islam maka akan di sebut masuk Melayu, Demikian juga sebaliknya dengan orang Melayu yang masuk kristen maka akan di sebut masuk daratDayak.Strata Sosial Dayak Mali
Suku Dayak Mali sangat menghormati Kepala Adat (Demang) yang merupakan kekuasaan tertinggi dalam adat. Kepala Adat menjadi pengayom atas seluruh aspek kehidupan bermasyarakat. Adat istiadat juga ditegakkan dengan sangat adil bagi masyarakat adat yang ada. Sementara itu, ada pemuka adat lain yang disebut panglima perang yang hanya berkuasa pada saat genting saja dan juga sebagai peredam/pendamai dalam masyarakat adat.Adat Istiadat dan Budaya Dayak Mali
1. Adat Istiadat- Perkawinan
- Hubungan keluarga mempelai. Kedua mempelai akan diberi sanksi apabila ada ikatan darah antara sampai keturunan ke-4. Boleh saja menikah asalkan membayar adat terlebih dahulu.
- Antar hubungan saudara sekandung (Adik-kakak/ abang)= Adat Pelangkah. Apabila adik terlebih dahulu menikah maka adik tersebut harus membayar adat kepada kakak/ abang.
- Hubungan antar suku (Tionghoa dan Melayu). Suku Dayak Mali telah membuat perjanjian dengan suku Melayu dan Tionghoa dari zaman nenek moyang. Apabila orang Dayak menikah dengan orang Melayu dan masuk Melayu (Islam) maka pihak Melayu harus membayar adat sebagai sanksi. Adatnya cukup besar dalam adat Dayak Mali. Demikian pula sebaliknya dan dengan suku Tionghoa juga terjadi hal yang sama. Tetapi dengan suku lain selain kedua suku tersebut tidak ada sanksi/ hukum adat yang berlaku. Suku yang lainnya bebas dari hukum bila menikah dengan suku Dayak mali. Tetapi bukan berarti bebas dari hukum yang lain yang berlaku bagi seluruhnya.
- Penetapan hukum Adat pada saat mulai Pelaksanaan Perkawinan. Pada saat persiapan pernikahan akan ada perjanjian antara kedua mempelai tersebut. Dan jika dilanggar maka sangsinya akan lebih berat dari biaya pernikahan.
- Kelahiran
- Cerita Dongeng
- Cerita si bungsu
- Cerita Buta
- Cerita Pak Alui/ Indong Alui
- Bercocok Tanam
- Ladang
- Sawah
Ngayau (Potong Kepala Manusia) merupakan budaya kanibal nenek moyang yang pernah ada dalam suku Dayak. Sekalipun budaya itu telah punah dan seharusnya sudah tidak ada lagi pada masa sekarang namun hal itu masih dapat kita saksikan pada era orde baru misalnya peristiwa Sanggau ledo(Kalbar)tahun 1997 dan peristiwa sampit(Kalteng)tahun 2001. Ngayau merupakan budaya untuk mencari kepala manusia. Ketika kepala itu didapati maka keberanian, keperkasaan, kekuatan dan kehormatan akan diperoleh dengan seketika itu juga. Setiap orang Dayak yang mampu memperoleh kepala panglima suku atau orang yang terkuat dalam suku maka kekuatannya akan dapat diperoleh. Orang Dayak tersebut akan dikagumi sebagai panglima. Kepala panglima suku yang dipotong tadi akan dimakan dan tengkoraknya akan diawetkan. Kapala tersebut sampai sekarang masih digunakan untuk tarian Noto'gh. Yaitu menghormati/menghadirkan kepala manusia itu di depan umum pada saat selesai panen. Masih ada daerah-daerah tertentu yang sampai sekarang masih melaksanakan budaya Noto'gh tersebut.
- Ganjor(Gawai)
- Noton'gh
- Belien'gh (Balian)
- Ngangkong
- Bepamang
- Bebayer (Mulang Niat)
- Berancak
- Para Burun'gh (Para buah dan Lepas Panen)
Seni dan Tarian Dayak Mali
Tuak merupakan minuman khas Dayak. Setiap ada acara adat pasti pula ada arak atau tuak. Budaya membuat tuak merupakan budaya yang turun temurun. Orang Dayak sangat pandai membuat tuak dari ketan. Hasil dari permentasi tersebut akan berubah menjadi minuman yang berasal dari tetesan minuman yang cukup membuat mabuk tersebut. Dalam tradisi Dayak yang disebut besompok (bertarung untuk minum arak) merupakan tradisi yang masih terpelihara sampai saat ini. Bukan sebagai kebangaan tetapi karenatradisi dari zaman nenek moyang. Rasa minuman ini agak terasa manis tapi bilater lalu banyak minum tuak ini maka sangat sulit untuk cepat pulih.- Tarian Ganjor(Gawai)
- Tarian Noton'gh
- Tarian Ngangkong
- Tarian Berase
- Tarian Belien'gh
- Tarian Para Burun'gh
- Nkayut amot
- Berancak
- Bebayer
Hukum Adat Dayak Mali
- Apa itu Adat
- Hukum Adat adalah sanksi atau denda berupa barang-barang sebagai bukti adat itu sendiri. Sekalipun adatnya sederhana tetap akan menjadi bukti-bukti adat yang sah. Bagi orang Dayak adat merupakan hukuman yang sangat memalukan. Karena itu setiap orang Dayak harus tahu diri bahwa setiap orang yang bersalah sebenarnya ketika di adat maka sama harga dirinya telah hilang baginya sama dengan ditolak dalam masyarakat dayak Mali.
- Struktural Pemegang Hukum Adat
- Dua Real di pegang/ dipimpin oleh pak RT/ RW
- Empat Real dipimpin oleh Domong (Kepala Adat Kampung)
- Enam Real dipimpin kepala adat Dusun
- Delapan [Mi'gh] Real dipimpin Kepala Adat Desa dengan kepala desa
- Sepuluh Real Dipimpin kepala adat Desa
- Dua Belas Real dipimpin kepala adat (pemangku adat) Kecamatan
- Enam Belas Real dipimpin kepala adat (Pemangku adat) kecamatan
Hubungan Dayak Mali Dengan Alam Semest
- Batu
- Ukiran Batu
- Batu Keramat
- Batu besar (Tempat Bunyi', Penunggu batu)
- Kayu Besar
- Pedagi (Tempat Penyembahan Apet Kuyan'gh, Jobata, Jubata. pedagi merupakan tempat untuk menaruh persembahan dalam upacara adat dayak Mali. mereka yakin bahwa pedagi merupakan rumah sementara jubata di dalam dunia ini. di pedagi itu orang datang untuk membawa niat,syukur dan silih atas segala apa yang di rencanakan selama hidupnya didunia. pedagi adalah tempat kedua setelah puncak gunung yang juga ada pedaginya yang merupakan memiliki penunggu yang berbeda. biasanya pedagi selalu dekat dengan rumah penduduk. mereka percaya bahwa yang menunggu pedagi tersebut adalah Apet Kuyan'gh yang memiliki sifat baik dan menjaga kampung. Apet Kuyan'gh selalu di identikan dengan orang tua yang sudah ubanan, berjengot putih dan bersorban. Apet Kuyan'gh dianggap peduli dengan keamanan kampung dan selalu memberi rejeki pada kehidupan mereka.
- Tanah
- Sisil (Penunggu Tanah)adalah penunggu lembah atau tanah berawa.setiap orang yang akan membuka ladang baru atau tanah baru diwajibkan untuk memberi persembahan dan memohon kepada Sisil untuk meninggalkan temapt tersebut. masyarakat menyebutnya sebagai balas budi.
- Mawin'gh
- Hutan Rimba
- Amot Turun (Hantu Hutan Rimba)
- Amot Uru Ara
- Gunung / Bukit
- Kamang (Pembawa Kejahatan dan Penyakit)adalah dewa pedagi yang ada di puncak gunung dianggap sebagai pusat segala-galanya. pedagi tersebut hanya bila ada hajatan kampung secara besar-besaran misalnya pada saat syukuran setelah panen padi, ketika ada perang.pedagi tersebut di jaga oleh Kamang yang merupakan sosok seorang manusia yang raksasa berlumuran darah dan sebagai dewa pencabut nyawa. itu bila manusia melanggar aturan atau kaidah yang ada dalam kampung.Kamang merupakan dewa yang paling keramat.
- Kayu Ara (pohon beringin): penunggunya Jin dan Buta
- Buta
- Air
- Amot Pind'gh
Cerita/ Dongeng Dayak Mali
- Cerita Si Bungsu
- Cerita Bunyi' ( Kampong Bunyi)
- Cerita pak Alui/Indong Alui
- Cerita Buta