Susah mengartikan sebuah kata kreatifitas, walau nyata idiom pengertian namun karbur dalam prakteknya. siapa yang mesti disalahkan. Apakah kesalahan penafsiran atau kurangnya kesadaran dalam menerapkan sebuah proses kreatif dalam berkesenian. Mungkin juga keterbatasan logika untuk menampung pengertian global atau kita yang tidak menangkap dengan jelas apa yang dimaksud dengan kebebasan dalam kreatifitas. Sungguh problematika yang panjang dan melelahkan untuk dicerna menurut pemikiran umum tentang kreatifitas itu sendiri.
Tulisan ini bermula dari beberapa perdebatan kawan-kawan tari dan saya sebagai orang musik dalam lingkup tradisi. Adanya pandangan bahwa kebanyakan gerakan dalam tari dan musik yang masih ke-jawa-an, artinya beberapa pola gerak dan irama musik di Kalimantan Barat terasa sangat kental nuansa Jawa-nya. Mungkin ini adalah kebebasan dalam kreatifitas dalam artian bebas memasukkan unsur gerak dan irama dalam karya apa saja. Alasannya agar tidak menghambat kreatifitas dan pengayaan nilai dalam karya itu sendiri. Beberapa kawan berpendapat dengan memasukkan unsur budaya lain kedalam sebuah karya merupakan sebuah pengayaan dan perluasan wahana pengembangan, baik secara keilmuan dan nilai estetis dalam karya itu sendiri. Saya pribadi sangat setuju dengan hal ini. Namun tidak semua pengayaan melepaskan nilai budaya yang sudah ada dalam kesenian yang akan kita angkat, baik itu dalam bentuk kreasi, kontemporer, maupun modern art.
Mengartikan sebuah kebebasan kreatifitas bukan harus meninggalkan bentuk yang sudah ada, sehingga adanya kecenderungan penggabungan dengan unsur budaya lain (akulturasi)namun lebih banyak menimbulkan unsur budaya daerah lain di dalam karya yang kita ciptakan. Hal ini karena adanya anggapan bahwa daerah yang budayanya maju patut dicontoh. Kemajuan budaya patut dicontoh dengan saringan dan menerapkannya dengan penyesuaian terhadap budaya setempat. Bukan mencontoh keseluruhan sampai-sampai kepada pola gerak tari dan irama musik. Mungkin ini dianggap style seorang seniman akan mengarah pada suatu budaya dimana ia belajar atau berproses kesenian. Saya masih ingat apa yang dikatakan Wayan Senen seorang dosen Etnomusikologi ISI Yogyakarta bahwa mencontoh budaya adalah mencontoh perilaku individu, sosial dalam mentransformasi budaya yang mereka terima, termasuk juga perlakuan mereka terhadap budaya baru tersebut ke dalam budaya yang mereka miliki. Dari sini dapat kita lihat bahwa mencontoh suatu referensi budaya buakan memasukkan unsur tabuhan secara membabi buta namun mencontoh proses dan apresiasi mereka terhadap apa yang dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan mereka. Hal ini adanya kesesuaian antara yang diterima dan pengembangannya dalam lingkup budaya setempat sebagai wadah dan acuan untuk mengembangkan kreatifitas. Memasukkan unsur budaya lain itu sah-sah saja, namun bila sampai tingkatan memasukkan secara berlebihan (mengadopsi) akan menyebabkan kaburnya nilai budaya yang telah terkandung dalam kesenian itu sendiri. Hal inilah yang perlu diperhatikan seniman dalam berposes kreatif untuk menciptakan sebuah karya.
Menganggap sebuah pengayaan khasanah karya itu sendiri bukan harus memasukkan pola gerak dan style dari referensi suatu kelompok atau budaya lain. Saya yakin masih banyak peluang perkembangan yang dapat kita aplikasikan untuk pengembangan kesenian yang kita miliki, termasuk dari pola gerak tari dan irama musik. disamping itu sebuah referensi bukan harus kita telan mentah-mentah untuk diaplikasikan dalam budaya kita, karna sudah pasti hasilnya ketidak cocokan atau akan menghilangkan ciri khas budaya yang kita miliki.
Sebagian pekerja seni bertanya kenapa budaya luar yang lebih maju seperti Jogja dan Bali begitu cepat menerima budaya luar yang up to date dan menyesuaikannya dengan budaya mereka. Sebenarnya jawabannya ada dalam pertanyaan itu sendiri. Mereka mengadakan penyesuaian bukan mencontoh sehingga nilai-nilai budaya dan ciri khas kesenian mereka tidak hilang. Bila kita hanya mencontoh niscaya kita akan kehilangan jejak dengan karya kita sendiri. Sesuatu hal yang dilematis dan menyedihkan bagi perkembangan kesenian kita masing-masing.
Solusi untuk permasalahan seperti ini adalah pengakjian karakter gerak, baik dalam tari dan musik perlu diperdalam. Dari pengkajian tersebut kita akan memahami pola masing-masing kesenian tiap budaya, sehingga kita dapat memahami bagaimana pengaplikasian terhadap karya dan penyesuaian terhadap budaya yang kita miliki. Tidak akan sama pola permainan Gamelan Yogya dan Solo walau ada beberapa kemiripan dalam pola tabuhan. begitu juga dengan pola kesenian yang berkembang di daerah kita masing-masing, tentu akan berbeda dengan pola kesenian di tempat lainnya. hal ini karena masing-masing miliki pola permainan dan latar belakang budaya yang berbeda sesuai budaya yang melingkupi kesenian tersebut. Melalui ini kita menyadari bahwa pendekatan karakter itu sangat penting dalam mempertahankan ciri khas kesenian masing-masing, karena masing-masing kesenian telah kaya dengan nilai-nilai estetis sesuai dengan budaya dimana ia lahir dan berkembang. Sekali lagi saya tidak mengatakan tidak setuju dengan kebebasan kreatifitas, namun perlu kita cerna ulang dengan pendangan budaya bahwa kreatifitas bukan menjadi sebuah produk kebablasan. Dari sini jelas bahwa dalam kreatifitas ada kebebasan bukan kebablasan.
sumber: etnikprogresif.blogspot.com
TRANSLATER
KREATIFITAS: kebebasan atau kebablasan......?
Sabtu, 21 Agustus 2010
Label:
musik
0 komentar:
Posting Komentar